HEADLINE NEWS

Kenapa Kapal Perang Italia Mundur? Nasib Flotilla Menuju Gaza Dipertanyakan!


ElangUpdate | Jakarta, 1 Oktober 2025 – Dalam situasi geopolitik yang semakin memanas di Timur Tengah, perhatian dunia kembali tertuju pada Gaza, wilayah yang telah diblokade oleh Israel sejak 2007. 

Krisis kemanusiaan di sana mencapai puncaknya setelah hampir dua tahun perang yang dimulai pasca-serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menyandera 251 orang. 

Respons Israel berupa operasi militer telah menewaskan lebih dari 66.000 warga Palestina, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, serta menyebabkan kelaparan massal dan kehancuran infrastruktur yang luas.

Di tengah kekacauan ini, inisiatif Global Sumud Flotilla muncul sebagai simbol perlawanan sipil terhadap blokade tersebut. 

Flotilla ini, yang terdiri dari sekitar 50 kapal sipil membawa lebih dari 500 aktivis dari berbagai negara, termasuk aktivis lingkungan terkenal Greta Thunberg, bertujuan mengirimkan bantuan kemanusiaan simbolis berupa makanan, obat-obatan, dan perlengkapan medis ke Gaza. 

Namun, perjalanan mereka yang dimulai dari pelabuhan seperti Bizerte di Tunisia dan Gallipoli di Italia kini menghadapi tantangan baru: mundurnya kapal perang Italia dari tugas pengawalan.

Latar Belakang Global Sumud Flotilla: Upaya Pemberontakan Melawan Blokade

Global Sumud Flotilla, yang diterjemahkan sebagai "Flotilla Ketabahan Global", adalah kelanjutan dari upaya-upaya sebelumnya seperti Freedom Flotilla Coalition. 

Inisiatif ini diluncurkan oleh koalisi aktivis internasional yang menolak blokade laut Israel, yang mereka anggap melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang menjamin kebebasan navigasi dan "passage tak bersalah" di perairan teritorial.

Perjalanan flotilla dimulai pada pertengahan September 2025, dengan kapal-kapal berangkat dari berbagai pelabuhan Eropa dan Afrika Utara. 

Salah satu kapal utama, Handala, yang dinamai sesuai karakter kartun Palestina yang melambangkan perlawanan anak-anak, berangkat dari Italia pada 20 Juli 2025, meskipun mengalami sabotase seperti tali yang tersangkut di baling-baling dan bahan kimia korosif di tangki air. 

Aktivis di atas kapal melaporkan bahwa misi ini bukan hanya tentang bantuan, tapi juga tentang menyoroti "genosida dan hukuman kolektif" terhadap rakyat Palestina, sebagaimana dinyatakan oleh koordinator flotilla Wael al-Nour.

Di antara penumpangnya, terdapat tokoh-tokoh seperti Greta Thunberg, yang ini merupakan upaya keduanya untuk menembus blokade; anggota parlemen Italia dari partai oposisi kiri; serta pengacara dan jurnalis dari berbagai negara. 

Mereka membawa muatan simbolis sekitar 500 ton bantuan untuk menekankan bahwa tujuan utama adalah provokasi moral, bukan militer. Namun, Israel menyebut flotilla ini sebagai "provokasi yang mendukung Hamas" dan menawarkan rute alternatif, seperti menyerahkan bantuan di pelabuhan Israel atau Siprus, yang ditolak mentah-mentah oleh panitia.

Peran Italia: Dari Pengiriman Kapal Perang hingga Keputusan Mundur

Italia, di bawah pemerintahan Perdana Menteri Giorgia Meloni yang secara tradisional pro-Israel, awalnya menunjukkan sikap ambigu terhadap flotilla. 

Pada 24 September 2025, setelah serangan drone misterius terhadap beberapa kapal flotilla di lepas pantai Yunani yang menyebabkan ledakan granat kejut dan gangguan komunikasi Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto mengutuk "serangan" tersebut dan memerintahkan kapal perang fregat Virginio Fasan untuk mendekati flotilla. 

Tujuannya, menurut Kementerian Pertahanan Italia, adalah untuk "bantuan pencarian dan penyelamatan" bagi warga Italia di atas kapal, bukan pengawalan militer.

Keputusan ini diikuti oleh Spanyol, yang mengirim kapal perang dari Cartagena untuk tujuan serupa. Italia bahkan mengganti fregat Fasan dengan Alpino untuk memperkuat kehadiran mereka. 

Meloni sendiri mengkritik misi flotilla sebagai "gratuitous, dangerous, and irresponsible" (sia-sia, berbahaya, dan tidak bertanggung jawab), sambil menawarkan mediasi: serahkan bantuan di Siprus untuk didistribusikan oleh Patriarkat Latin Yerusalem dari Gereja Katolik. 

Proposal ini didukung oleh Presiden Italia Sergio Mattarella, yang memuji "nilai inisiatif" tapi mendesak agar menghindari kekerasan.

Namun, pada 30 September 2025, Kementerian Pertahanan Italia mengumumkan keputusan kontroversial: kapal perang mereka akan mundur dari pengawalan saat flotilla memasuki radius 150 mil laut (sekitar 278 km) dari pantai Gaza, diperkirakan sekitar tengah malam GMT. 

Alasan resmi adalah untuk menghindari "insiden diplomatik" dengan Israel, yang telah berjanji menggunakan "segala cara" untuk mencegah flotilla mencapai Gaza. 

Aktivis flotilla, melalui juru bicara Italia Maria Elena Delia, menyebut langkah ini sebagai "pengecut yang disamarkan sebagai diplomasi" dan "penyamaran bagi Israel".

Keputusan ini memicu badai politik di Italia. Oposisi kiri menuduh pemerintah Meloni "mengkhianati" warganya sendiri setidaknya 10 warga Italia telah mundur akibat tekanan pemerintah sementara serikat buruh menggelar demonstrasi di 80 kota, menuntut pengakuan negara Palestina. 

Polling menunjukkan pergeseran opini publik: dukungan terhadap Israel menurun drastis sejak awal perang, mendorong Meloni untuk mendekati posisi Prancis dan Inggris soal Palestina.

Dampak Serangan Drone dan Respons Internasional

Sebelum mundurnya Italia, flotilla telah menghadapi serangkaian insiden mengancam. Pada 23-24 September, drone tak dikenal menjatuhkan granat kejut dan bubuk gatal ke 11 kapal, menyebabkan kerusakan ringan tapi tidak ada korban jiwa. 

Aktivis menyalahkan Israel, yang tidak merespons tuduhan tapi dikonfirmasi secara tidak langsung oleh utusan AS Thomas Barrett soal serangan sebelumnya di Tunisia. Hamas menyebutnya "terorisme", sementara PBB mendesak investigasi independen.

Paus Leo XIII dari Vatikan menyatakan kekhawatiran atas keselamatan aktivis, sementara Komisi Eropa melalui juru bicara Eva Hrncirova menegaskan bahwa "kebebasan navigasi harus dijunjung tinggi".

 Badan Perbatasan Eropa Frontex menolak memberikan perlindungan, mengklaim status sipil mereka tidak memadai. 

Di sisi lain, Israel mempersiapkan intersepsi kompleks: Angkatan Lautnya, didukung Angkatan Udara, siap menangkap ratusan aktivis dengan bantuan 600 polisi untuk deportasi.

Greta Thunberg, dari atas kapalnya, melaporkan drone mengintai setiap malam, tapi moral tetap tinggi: "Kami di sini karena diam terhadap genosida lebih berbahaya daripada berlayar membawa bantuan."

Implikasi Geopolitik: Antara Diplomasi dan Konfrontasi

Mundurnya kapal perang Italia menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen Eropa terhadap hak asasi manusia di Gaza. 

Bagi Meloni, ini adalah manuver halus: menjaga aliansi dengan Israel—sekutu utama AS di bawah Presiden Donald Trump sambil merespons tekanan domestik dari gerakan pro-Palestina yang kuat di Italia dan Spanyol. 

Proposal Trump untuk rencana perdamaian 20 poin, termasuk pembangunan kembali Gaza dan negara Palestina terbatas, disebut Meloni sebagai alasan untuk menghindari "pretext" yang merusak negosiasi.

Namun, bagi flotilla, ini adalah pengkhianatan. Mereka menolak mediasi Italia sebagai "sabotase", bersikeras bahwa pengiriman langsung ke Gaza diperlukan untuk menembus blokade yang menyebabkan kelaparan di kota-kota seperti Gaza City, di mana otoritas pangan dunia telah mendeklarasikan bencana kelaparan. 

Secara hukum, ICJ pada Januari 2024 memerintahkan Israel memungkinkan bantuan masuk, tapi kepatuhan minim.

Dari perspektif Israel, blokade adalah alat sah perang melawan Hamas, yang menguasai Gaza sejak 2007. Mereka menawarkan bantuan melalui pelabuhan mereka, tapi aktivis melihatnya sebagai jebakan untuk legitimasi blokade. 

Insiden 2010, di mana komando Israel membunuh 10 aktivis Turki pada kapal Mavi Marmara, masih membayangi, membuat ketegangan semakin tinggi.

Kesimpulan: Menuju Konfrontasi atau Solusi Damai?

Saat Global Sumud Flotilla mendekati "zona kritis" 150 mil dari Gaza pada 1 Oktober 2025, dunia menahan napas. 

Dengan Italia mundur, flotilla kini bergantung pada keberanian 500 aktivisnya dan dukungan internasional yang terbatas. 

Apakah ini akan berujung intersepsi Israel, seperti yang diantisipasi, atau memaksa dialog baru? Yang jelas, misi ini telah mengguncang politik Eropa, menyoroti kontradiksi antara retorika hak asasi dan realitas diplomatik.

Update terkini menunjukkan kapal-kapal flotilla dalam kewaspadaan tinggi, dengan manuver intimidasi dari kapal Israel semalam. 

Aktivis berjanji melanjutkan: "Flotilla berlayar maju." Sementara itu, komunitas global dipanggil untuk mendukung perdamaian sejati bukan hanya bantuan, tapi akhir blokade dan jalan menuju keadilan bagi semua pihak.

Artikel ini berdasarkan laporan terkini dari berbagai sumber terpercaya dan analisis independen. Untuk update lebih lanjut, ikuti kami.


⚠️ Warning.!! Aturan Komentar:
  1. Sopan dan Menghargai – Komentar yang mengandung ujaran kebencian, diskriminasi, atau pelecehan akan dihapus.
  2. Fokus pada Topik – Hindari spam atau komentar yang tidak relevan dengan konten.
  3. Gunakan Bahasa yang Baik – Hindari kata-kata kasar atau tidak pantas.
  4. Tidak Mengiklankan – Komentar yang mengandung promosi pribadi atau iklan akan dihapus.
  5. Patuhi Hukum – Komentar yang melanggar hak cipta atau norma hukum akan ditindak tegas.

Dengan berkomentar, Anda setuju untuk mematuhi aturan ini.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Home
Trending
Sport
Search
Menu
Komentar 0 Facebook Twitter WhatsApp Telegram Copy Link