Detik-Detik Dramatis Penangkapan Ilegal Kapal Oxygono oleh Pasukan Laut Israel di Perairan Internasional
![]() |
Source : x.com/GlobalSumudF |
ElangUpdate | Jakarta, 2 Oktober 2025 – Dalam sebuah insiden yang memicu kecaman global, pasukan angkatan laut Israel diduga melakukan penangkapan ilegal terhadap kapal Oxygono, salah satu armada utama dari Armada Global Sumud, beserta puluhan kapal pendukung lainnya di perairan internasional.
Kejadian ini terjadi sekitar pukul 20.30 waktu setempat pada Rabu malam, atau sekitar 70 mil laut (sekitar 130 kilometer) dari pantai Gaza, wilayah yang jelas-jelas berada di luar yurisdiksi teritorial Israel.
Insiden ini bukan hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga menambah panjang daftar kontroversi seputar blokade Gaza yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Latar Belakang Armada Global Sumud: Misi Kemanusiaan Terbesar dalam Sejarah
Armada Global Sumud, yang dikenal juga sebagai Global Sumud Flotilla, merupakan inisiatif sipil terbesar yang pernah diluncurkan untuk menembus blokade laut Israel terhadap Gaza.
Dibentuk pada Juli 2025 oleh koalisi kelompok aktivis seperti Freedom Flotilla Coalition (FFC), Global Movement to Gaza, Maghreb Sumud Flotilla, dan Sumud Nusantara dari Indonesia serta negara-negara Asia Tenggara lainnya, armada ini melibatkan lebih dari 50 kapal dengan 500 peserta dari 44 negara.
Tujuannya sederhana namun berani: mengirimkan bantuan kemanusiaan simbolis berupa makanan, obat-obatan, air minum bersih, dan filter air ke warga Gaza yang sedang dilanda krisis akibat perang berkepanjangan.
Perjalanan armada dimulai pada 31 Agustus 2025 dari pelabuhan di Spanyol, melewati rute panjang melintasi Laut Mediterania.
Delegasi berasal dari berbagai latar belakang: aktivis lingkungan seperti Greta Thunberg dari Swedia, cucu mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela bernama Nkosi Zwelivelile Mandela, anggota parlemen Eropa, dokter, seniman, hingga nelayan biasa.
Dari Indonesia, melalui Sumud Nusantara, terdapat 23 warga negara Indonesia yang bergabung, termasuk aktivis hak asasi manusia dan relawan medis.
Total, ada lebih dari 200 orang dari 37 negara yang terlibat langsung di atas kapal-kapal tersebut.
Armada ini bukanlah yang pertama. Sejak 2010, berbagai misi serupa telah mencoba menembus blokade, tetapi hampir semuanya dihentikan secara paksa oleh Israel.
Yang paling tragis adalah insiden Mavi Marmara pada 2010, di mana komando Israel menewaskan 10 aktivis Turki dan melukai puluhan lainnya di perairan internasional.
Pada 2024 dan 2025, serangan drone dan pencegatan di pelabuhan asing telah menjadi pola baru.
Namun, Global Sumud Flotilla unggul dalam skala: ini adalah konvoi sipil terbesar sepanjang sejarah, dengan tujuan tidak hanya mengirim bantuan, tapi juga membuka koridor kemanusiaan permanen ke Gaza.
Detik-Detik Penangkapan: Dari Ancaman Hingga Penyergapan
Menjelang malam Rabu, 1 Oktober 2025, armada sudah memasuki apa yang disebut sebagai "zona berisiko tinggi" area di mana flotila sebelumnya sering diserang.
Aktivis di atas kapal Oxygono, sebuah kapal kargo sedang yang membawa sebagian besar bantuan medis, melaporkan melalui siaran langsung di Telegram dan Instagram bahwa mereka melihat puluhan kapal tak dikenal mendekat tanpa lampu transponder. "Mereka seperti hantu di malam hari," kata Thiago Ávila, aktivis Brasil yang berada di komite kemudi flotila, dalam video yang direkam sebelum sinyal terputus.
Pukul 20.30 waktu setempat, pasukan angkatan laut Israel mulai bertindak. Kapal perang Israel, termasuk unit komando Shayetet 13, mendekati formasi armada dengan kecepatan tinggi. Menurut pernyataan resmi Global Sumud Flotilla, kapal-kapal seperti Oxygono, Alma, Sirius, Adara, dan Maria Cristina menjadi target utama.
Oxygono, yang berbendera Yunani dan membawa 12 relawan termasuk dua warga Malaysia, dilaporkan diram dengan sengaja oleh kapal Israel sebelum disemprotkan meriam air bertekanan tinggi.
Video amatir yang diunggah menunjukkan aktivis mengenakan rompi pelampung sambil mengangkat tangan, berteriak "Ini misi kemanusiaan! Kami tidak bersenjata!"
Komando Israel naik ke dek Oxygono melalui helikopter dan perahu karet, memotong semua komunikasi satelit dan jamming sinyal GPS. "Mereka datang seperti badai, menodong senjata dan memerintahkan kami matikan mesin," cerita seorang saksi mata dari kapal Sirius melalui pesan terakhir sebelum kontak hilang.
Dalam hitungan menit, puluhan tentara Israel menguasai dek, menahan aktivis, dan mengkonfiskasi muatan. Tidak ada laporan korban jiwa, tapi beberapa aktivis mengeluh tentang pemukulan ringan dan penggunaan tasers, mirip insiden 2018.
Sementara itu, kapal-kapal lain seperti Captain Nikos (membawa Greta Thunberg dan anggota parlemen Prancis Rima Hassan) dan Ohwayla juga diserbu.
Kementerian Luar Negeri Israel merilis video menunjukkan Thunberg duduk tenang di dek sambil diberi air minum oleh seorang prajurit, dengan caption "Dia dan teman-temannya aman." Namun, aktivis menyangkal narasi ini, menyebutnya sebagai propaganda untuk menutupi pelanggaran hukum.
Dalam operasi yang berlangsung hingga Kamis pagi, Israel berhasil mengintersep hampir semua 47 kapal kecuali satu, Mikeno, yang dilaporkan berhasil memasuki perairan teritorial Gaza meski kehilangan kontak.
Aktivis di darat, termasuk di pelabuhan Ashdod, Israel, menunggu deportasi massal yang direncanakan.
Pelanggaran Hukum Internasional: Tuduhan yang Tak Terbantahkan
Insiden ini langsung memicu tuduhan pelanggaran hukum internasional. Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, kapal di perairan internasional dilindungi hak bebas navigasi, dan hanya boleh dicegat jika terlibat dalam pembajakan atau ancaman keamanan.
Pakar hukum seperti Omer Shatz dari Sciences Po University, Paris, menyatakan bahwa meskipun blokade Gaza dianggap sah (yang diragukan oleh Mahkamah Internasional atau ICJ), Israel tidak memiliki yurisdiksi atas kapal di high seas.
ICJ pada Juli 2024 telah memutuskan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina, termasuk perairan Gaza, adalah ilegal dan harus diakhiri secepat mungkin.
Francesca Albanese, pelapor khusus PBB untuk hak Palestina, menyebut intersepsi ini sebagai "kejahatan perang" karena menargetkan warga sipil tak bersenjata. UNCLOS Pasal 87 menjamin kebebasan navigasi kemanusiaan, dan intervensi Israel dianggap melanggarnya secara nyata.
Israel membela diri dengan klaim bahwa flotila terkait Hamas dan mendekati "zona tempur aktif." Namun, hingga kini, tidak ada bukti yang disajikan, dan penawaran Israel untuk mengalihkan bantuan melalui pelabuhan Ashkelon ditolak aktivis karena dianggap sebagai cara menghindari pengakuan blokade ilegal.
Reaksi Global: Dari Protes Jalanan hingga Sanksi Diplomatik
Kecaman membanjiri dari berbagai belahan dunia. Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyebut intersepsi ini "melanggar kedaulatan bendera negara-negara peserta" dan menuntut pembebasan langsung, termasuk Nkosi Zwelivelile Mandela.
Kolombia, di bawah Presiden Gustavo Petro, memutuskan perjanjian perdagangan bebas dengan Israel dan mengusir seluruh delegasi diplomatiknya setelah dua warganya ditahan.
Di Eropa, Perdana Menteri Irlandia Simon Harris menyebut laporan ini "mengkhawatirkan" dan menuntut Israel patuhi hukum internasional, dengan tujuh warga Irlandia di antaranya.
Demonstrasi besar-besaran meletus di Italia (Roma dan Turin), Yunani (Athens), dan Spanyol, di mana ratusan orang memblokir jalan sambil melambai bendera Palestina.
Di Polandia, anggota parlemen Franek Sterczewski, yang ikut ditahan, merilis video pra-rekam: "Jika Anda melihat ini, saya telah diculik di perairan internasional."
Greta Thunberg, melalui timnya, menyatakan: "Ini bukti bahwa suara kemanusiaan dibungkam, tapi perjuangan untuk Gaza takkan berhenti." Hamas menyebut aksi Israel sebagai "tindakan terorisme," sementara Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni justru mengkritik flotila karena "tak bermanfaat bagi rakyat Palestina."
Di Indonesia, Sumud Nusantara melaporkan dua dari lima kapal yang membawa warganya "hilang kontak," memicu seruan dari aktivis lokal untuk solidaritas lebih besar.
Negara-negara seperti Turki, Spanyol, dan Italia bahkan mengerahkan kapal perang untuk mengawal flotila sebelumnya, setelah laporan serangan drone dekat Kreta dan Malta.
Protes ini bukan hanya simbolis; mereka menekan tekanan diplomatik untuk investigasi independen oleh PBB.
Implikasi Jangka Panjang: Ancaman bagi Hukum Laut Global
Insiden penangkapan kapal Oxygono dan armada Sumud bukan sekadar berita pagi; ini adalah pengingat akan ketidakadilan struktural di Laut Mediterania. Blokade Gaza, yang dimulai sejak 2007, telah menyebabkan krisis kemanusiaan parah: lebih dari 2 juta warga Gaza kekurangan makanan, obat, dan air bersih.
Upaya seperti Sumud menyoroti kegagalan saluran bantuan konvensional, termasuk dermaga terapung AS yang gagal pada 2024 karena masalah keamanan.
Bagi komunitas internasional, ini menguji komitmen terhadap UNCLOS dan hak kemanusiaan. Jika Israel lolos tanpa konsekuensi, preseden berbahaya bisa dibuka: negara mana pun bisa mengklaim yurisdiksi atas perairan internasional atas nama "keamanan." Aktivis Sumud berjanji misi selanjutnya, sementara dunia menunggu deportasi dan potensi tuntutan di Pengadilan Internasional.
Kejadian ini juga memperkuat solidaritas Global South. Dari Maghreb hingga Nusantara, suara-suara bersatu menuntut akhir blokade. Seperti kata Saif Abukeshek, juru bicara Sumud: "Kami takkan mundur. Sumud berarti ketabahan, dan Gaza akan bebas."
Kesimpulan: Saat Kemanusiaan Bertabrakan dengan Kekuasaan
Detik-detik penangkapan kapal Oxygono adalah klimaks dari perjuangan panjang melawan blokade yang tak adil. Dengan lebih dari 500 jiwa yang kini ditahan dan bantuan yang disita, dunia melihat bagaimana kekuasaan militer bisa mengabaikan hukum.
Namun, di balik tragedi ini, ada harapan: gelombang protes global menunjukkan bahwa suara rakyat tak bisa dibungkam selamanya.
Saat kapal-kapal itu didorong ke Ashdod untuk deportasi, pertanyaan besar tetap: kapan Gaza akan bernapas bebas? Hanya waktu dan tekanan internasional yang akan menjawab.
Artikel ini disusun berdasarkan laporan terkini dari berbagai sumber terpercaya.
Sumber: Al Jazeera, CNN, BBC, Reuters, The New York Times, dan lainnya.
Dengan berkomentar, Anda setuju untuk mematuhi aturan ini.