HEADLINE NEWS

Protes Suporter Italia: Simbol Perlawanan terhadap Konflik Gaza di Tengah Laga Internasional


ElangUpdate | 11 September 2025 – Dalam dunia sepak bola yang seharusnya menjadi ajang persaingan olahraga murni, politik dan isu kemanusiaan sering kali menyusup masuk. Insiden terbaru terjadi saat suporter tim nasional Italia melakukan aksi protes simbolis dengan membalikkan badan mereka selama pemutaran lagu kebangsaan Israel pada pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2026 kemarin. 

Aksi ini bukan hanya menyoroti ketegangan geopolitik, tapi juga menimbulkan tuntutan keras agar UEFA dan FIFA menangguhkan partisipasi Israel, dengan perbandingan tajam terhadap sanksi yang diberikan pada Rusia.

Latar Belakang Pertandingan dan Insiden Protes

Pertandingan antara Italia dan Israel digelar pada 8 September 2025 di Stadion Nagyerdei, Debrecen, Hungaria, sebagai venue netral karena alasan keamanan. Laga ini bagian dari kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Eropa Grup I, di mana kedua tim bertarung sengit. 

Skor akhir berakhir dramatis dengan kemenangan Italia 5-4 atas Israel, menampilkan sembilan gol yang penuh gejolak. Sandro Tonali menjadi pahlawan dengan gol kemenangan di menit-menit akhir, setelah Moise Kean mencetak dua gol penyeimbang di babak pertama dan kedua.

Namun, sorotan utama bukan pada permainan di lapangan, melainkan pada aksi suporter Italia sebelum kick-off. Sekelompok sekitar 50-100 suporter Azzurri, mengenakan pakaian hitam serba gelap, membalikkan badan mereka saat lagu kebangsaan Israel, "Hatikvah", diputar. 

Mereka juga mengibarkan bendera Italia dengan tulisan "Liberta" (Kebebasan) dan memegang spanduk berbentuk tanda "STOP" sebagai bentuk protes terhadap konflik di Gaza. Aksi ini mirip dengan yang terjadi pada pertemuan sebelumnya di UEFA Nations League 2024, di mana suporter Italia juga melakukan hal serupa di Budapest.

Menurut laporan dari media seperti Reuters dan AP News, aksi ini dilakukan oleh kelompok ultras Italia yang dikenal vokal dalam isu sosial. Mereka tidak hanya membalikkan badan, tapi juga meneriakkan slogan-slogan yang menyerukan keadilan bagi Palestina. Insiden ini cepat menyebar di media sosial, dengan hashtag #ShowIsraelTheRedCard menjadi tren, di mana ribuan pengguna menuntut sanksi terhadap Israel.

Makna Simbolis Aksi Protes

Aksi membalikkan badan bukanlah hal baru dalam sejarah sepak bola Eropa. Ini sering digunakan sebagai bentuk perlawanan diam terhadap isu politik, seperti yang dilakukan suporter Inggris terhadap rasisme atau suporter Skotlandia untuk mendukung kemerdekaan. Dalam konteks ini, suporter Italia melihatnya sebagai simbol perlawanan terhadap apa yang mereka sebut "genosida di Palestina".

Konflik Israel-Palestina telah memasuki tahun kedua sejak eskalasi Oktober 2023, dengan laporan dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas menyebut lebih dari 64.000 warga Palestina tewas, termasuk ribuan anak-anak dan warga sipil. 

Serangan Israel ke Gaza, yang dimulai sebagai respons terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang Israel, telah menimbulkan krisis kemanusiaan global. Suporter Italia, didukung oleh kelompok seperti BDS (Boycott, Divestment, Sanctions), menggunakan sepak bola sebagai platform untuk menyoroti penderitaan di Gaza, di mana infrastruktur olahraga seperti stadion Yarmouk telah hancur total.

Beberapa suporter menyatakan, "Kami tidak membenci sepak bola Israel, tapi kami menolak normalisasi kekerasan." Aksi ini juga mencerminkan sentimen luas di Eropa, di mana demonstrasi pro-Palestina sering kali bertabrakan dengan dukungan pemerintah terhadap Israel. 

Di Italia, meskipun pemerintah kanan-ekstrem mendukung Israel, opini publik terbelah, dengan survei menunjukkan 60% warga Italia simpati pada Palestina.

Tuntutan Sanksi: Media dan Organisasi Olahraga Bereaksi

Beberapa media Eropa, seperti The Guardian dan La Repubblica, menyebut aksi suporter sebagai "simbol perlawanan yang berani". Mereka menuntut UEFA dan FIFA untuk bertindak tegas, dengan membandingkan kasus Israel dengan sanksi terhadap Rusia. 

Pada 2022, FIFA dan UEFA menangguhkan Rusia hanya empat hari setelah invasi Ukraina, karena 12 asosiasi Eropa menolak bermain melawan mereka. Sanksi ini mencakup larangan partisipasi di Piala Dunia, Euro, dan kompetisi klub, dengan alasan "melindungi integritas kompetisi".

Sementara itu, meskipun Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) telah mengajukan proposal suspensi Israel sejak Mei 2024, FIFA hanya menjanjikan "investigasi" tanpa batas waktu. Pada Oktober 2024, FIFA menunda keputusan lagi, dengan alasan menyelidiki tuduhan diskriminasi terhadap atlet Arab di klub Israel dan partisipasi klub pemukiman ilegal di Tepi Barat. 

Kritikus seperti Amnesty International menyebut ini sebagai "standar ganda yang mencolok". Rusia dibanned karena invasi, tapi Israel tidak meskipun tuduhan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ).

Asosiasi Pelatih Sepak Bola Italia (AIAC) bahkan mengirim surat terbuka pada Agustus 2025, menyebut tindakan Israel di Gaza sebagai "genosida" dan menuntut suspensi. Lebih dari 12.000 penggemar global menandatangani petisi #ShowIsraelTheRedCard, yang dimulai dari suporter Celtic FC di Skotlandia. 

Di level klub, Maccabi Tel Aviv menghadapi boikot setelah fans mereka terlibat kerusuhan di Amsterdam pada November 2024, di mana mereka menyerang warga Arab dan merobek bendera Palestina.

FIFA menyatakan netralitas politik, tapi sejarah menunjukkan sebaliknya: Afrika Selatan dibanned pada era apartheid, dan Kenya pada 1990-an karena korupsi. Mengapa Israel lolos? Beberapa analis menyalahkan pengaruh AS, yang mendukung Israel di PBB dan FIFA. UEFA juga menolak perbandingan, dengan Sekjen Theodore Theodoridis menyebut kasus Rusia dan Israel "sangat berbeda".

Perbandingan Sanksi Rusia vs Israel: Mengapa Ada Ketidakadilan?

Sanksi terhadap Rusia dimulai pada 28 Februari 2022, hanya empat hari setelah invasi Ukraina. FIFA menyatakan solidaritas dengan korban Ukraina dan melarang semua tim Rusia dari kompetisi internasional. 

Alasan utama: Beberapa negara Eropa, termasuk Polandia dan Swedia, menolak bermain, mengancam integritas turnamen. Sanksi ini diperpanjang hingga Piala Dunia 2026, meskipun tim Rusia wanita diizinkan bertanding sebagai netral di beberapa laga persahabatan.

Sebaliknya, meskipun PFA melaporkan 344 atlet Palestina tewas sejak 2023 – termasuk 242 pemain sepak bola – dan 140 fasilitas olahraga hancur, FIFA ragu-ragu. Klub Israel seperti Beitar Jerusalem sering dituduh rasisme terhadap pemain Arab, dan liga domestik mencakup tim dari pemukiman ilegal di Tepi Barat, melanggar statuta FIFA. 

Namun, tidak ada negara UEFA yang secara resmi menolak bermain melawan Israel, meskipun Belgia dan Italia memindahkan laga ke netral karena keamanan.

Organisasi seperti Human Rights Watch (HRW) sejak 2016 mengecam FIFA atas pertandingan di tanah curian. Rusia dituduh melanggar hukum internasional di Krimea, tapi Israel di Gaza dianggap "respons defensif". 

Ini menimbulkan tuduhan hipokrasi: FIFA cepat bertindak pada Rusia karena tekanan Eropa, tapi lambat pada Israel karena dukungan Barat. Pada 2024, IOC juga menolak boikot Olimpiade terhadap Israel, meskipun Rusia dibatasi atlet netral.

Dampak Lebih Luas pada Sepak Bola Internasional

Protes ini telah menyebar ke stadion-stadion Eropa. Di La Liga Spanyol, suporter Sevilla memasang spanduk "Stop Killing Children" pada Februari 2025. Di Prancis, fans Lyon menolak pertandingan melawan tim Israel. Gerakan ini menginspirasi petisi global dengan lebih dari 300 klub olahraga Palestina menuntut sanksi. 

Di sisi lain, pelatih Israel, Ran Ben Shimon, membela timnya: "Kami berdiri di belakang negara kami, sepak bola bukan tempat untuk politik."

Namun, dampaknya terasa: Keamanan laga Israel meningkat, dengan pertandingan dipindah ke Hungaria berkali-kali. Fans Israel juga menghadapi tuduhan rasisme, seperti di Amsterdam di mana mereka menyanyikan lagu anti-Arab. 

Ini merusak citra sepak bola sebagai olahraga inklusif. FIFA berisiko kehilangan kredibilitas jika terus menunda, terutama dengan Piala Dunia 2026 di depan mata.

Di Palestina, sepak bola menjadi simbol ketahanan. Tim nasional Palestina, meskipun terhambat perbatasan, terus bertanding di AFC. Pemain seperti Omar Abu Wardah, yang selamat dari serangan, menjadi inspirasi. Protes suporter Italia kemarin menunjukkan bahwa sepak bola tidak bisa lagi netral di tengah krisis kemanusiaan.

Kesimpulan: Menuju Perubahan di Dunia Olahraga?

Insiden di Debrecen adalah panggilan bangun bagi FIFA dan UEFA. Dengan Rusia tetap dibanned hingga 2026, ketidakadilan terhadap Palestina semakin mencolok. Suporter Italia telah membuka diskusi global: 

Apakah sepak bola harus tetap netral, atau menjadi suara bagi yang tertindas? Hingga kini, tuntutan suspensi Israel terus bergema, tapi tanpa aksi konkret dari penguasa olahraga, protes seperti ini akan berlanjut. Sepak bola, yang menyatukan miliaran orang, kini diuji oleh konflik yang lebih besar. Waktunya bagi FIFA untuk menunjukkan konsistensi, atau risiko kehilangan kepercayaan penggemar selamanya.


⚠️ Warning.!! Aturan Komentar:
  1. Sopan dan Menghargai – Komentar yang mengandung ujaran kebencian, diskriminasi, atau pelecehan akan dihapus.
  2. Fokus pada Topik – Hindari spam atau komentar yang tidak relevan dengan konten.
  3. Gunakan Bahasa yang Baik – Hindari kata-kata kasar atau tidak pantas.
  4. Tidak Mengiklankan – Komentar yang mengandung promosi pribadi atau iklan akan dihapus.
  5. Patuhi Hukum – Komentar yang melanggar hak cipta atau norma hukum akan ditindak tegas.

Dengan berkomentar, Anda setuju untuk mematuhi aturan ini.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Home
Trending
Sport
Search
Menu
Komentar 0 Facebook Twitter WhatsApp Telegram Copy Link